Sunday, April 17, 2011

Swasembada Sapi: Kebijakan yang Dipaksakan?



Press Release

Institute for Indonesian Agro-Industry Development (INFIAD)

SWASEMBADA SAPI: KEBIJAKAN YANG DIPAKSAKAN?

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berupaya mencapai swasembada sapi yang dicanangkan akan tercapai pada tahun 2014. Ambisi besar Pemerintah untuk merealisasikannya tampak jelas dari kebijakan pengurangan impor sapi dan daging sapi secara signifikan. Direncanakan, tahun 2011 ini Indonesia hanya akan mengimpor 50.000 ton daging sapi atau menurun sekitar 58% dari tahun sebelumnya yang mencapai 120.000 ton. Kebijakan ini mendorong tingginya harga bahan baku daging sapi akibat persediaan daging berkurang. Akibatnya dari pabrik sosis sampai pembuat bakso saat ini menjerit karena kelangkaan dan tingginya harga daging sapi.

Di lain sisi, apakah produksi sapi lokal serta merta dapat meningkat dengan tingginya harga daging sapi? Apakah sarana dan prasarana untuk meningkatkan produksi sapi lokal tersedia dalam kondisi yang memadai? Pertanyaan ini akan dicoba dijawab melalui kajian singkat (telaahan) oleh sebuah lembaga advokasi Institute for Indonesian Agroindustry Development (INFIAD).

Kebutuhan Sapi untuk Swasembada. Direktorat Jendral Peternakan mendefinisikan swasembada daging sapi sebagai: Kemampuan Penyediaan Daging Sapi Dalam Negeri Sebesar 90% Dari Kebutuhan Daging Nasional. Berarti dari total konsumsi daging sapi yang diproyeksikan mencapai 470.000 ton pada tahun 2014, 427.000 ton diantaranya harus dipenuhi oleh peternakan lokal. Pada tahun 2009, produksi daging sapi lokal sekitar 250.000 ton. Untuk mencapai swasembada daging sapi, produksi sapi lokal harus tumbuh sebesar 200.000 ton dalam lima tahun ini. Pertumbuhan produksi sapi lokal dengan demikian harus mencapai dua belas persen per tahun. Sedangkan saat ini diperkirakan pertumbuhan produksi sapi lokal hanya berkisar antara tiga sampai empat persen per tahun. Bila dikonversikan kepada kebutuhan sapi hidup, berarti pada tahun 2014 setidaknya diperlukan 5,8 juta ekor sapi dipelihara dalam waktu bersamaan. Angka ini belum termasuk induk sapi betina yang harus dipelihara oleh peternakan pembibitan (breeding farm).

Permasalahan dalam Peternakan Sapi. Untuk mencapai 5,8 juta ekor sapi siap potong pada tahun 2014 tidak mungkin mengandalkan peternakan subsisten. Sapi lokal harus dihasilkan dari industri peternakan yang efektif dan efisien agar produk yang dihasilkan berkualitas tinggi dan murah. Permasalahan yang dihadapi industri peternakan Indonesia adalah ketersediaan lahan, bibit, serta tenaga trampil dalam pengelolaan peternakan skala besar. Semua masalah ini harus dilihat dari konteks efisiensi, kualitas, dan kontinuitas, bukan sekedar tersedia..

Dari sisi lahan, data statistik menunjukkan hanya 2,24 juta hektar lahan di negara kita yang berupa padang rumput. Padahal cara termurah dan terefisien dalam pemeliharaan ternak sapi adalah memelihara dalam padang penggembalaan yang berupa padang rumput. Sebagai perbandingan, Australia mengalokasikan empat hektar padang rumput untuk tiap satu ekor sapi. Hal serupa juga terjadi di Argentina, Brazil, dan negara kecil Selandia Baru. Jika mengacu pada angka minimal satu hektar per satu ekor sapi, maka setidaknya kita membutuhkan enam juta hektar padang rumput untuk memelihara 5,8 juta ekor sapi di 2014. Indonesia jelas tidak memiliki padang rumput sedemikian luas untuk penggembalaan.

Beberapa alternatif bentuk lahan penggembalaan sapi telah dicoba. Salah satunya adalah mengintegrasikan penggembalaan sapi dan kebun kelapa sawit. Namun demikian, masih terdapat banyak kendala sehingga terjadi penolakan dari perkebunan kelapa sawit untuk melakukan program ini secara masif. Peternakan sapi model kandang tentu akan sangat tidak efisien sehingga akan menyulitkan peternak sapi untuk menghasilkan daging sapi dengan harga yang kompetitif.

Masalah lain adalah ketersediaan bibit sapi. Secara akal sehat, kemustahilan menyediakan bibit adalah masalah serius bagi program swasembada sapi. Untuk menyediakan 5,8 juta ekor bibit sapi pada 2014, maka diperlukan 11,6 juta ekor induk sapi. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah dari mana kita akan memperoleh induk sapi betina dengan kualitas sapi pedaging unggul sebanyak itu? Apakah saat ini induk sapi tersebut memang telah tersedia? Adalah tugas lembaga-lembaga penelitian peternakan untuk menyiapkan teknologi pengembangan bibit sapi yang layak untuk diimplementasikan pada skala ekonomis.

Program Kerja yang Realistis. Mengacu pada tantangan dan kendala yang dihadapi untuk mewujudkan program swasembada sapi, maka diperlukan program kerja yang realistis dan sistematis dengan pengawasan yang ketat untuk mengatasi semua permasalahan yang ada. Langkah-langkah yang dapat diambil untuk memajukan peternakan antara lain adalah:

  1. Insentif Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dipermudah
  2. Peternak menengah dan besar diberi kesempatan untuk melakukan penggemukan dan impor sapi siap potong dengan syarat harus melakukan pembibitan dalam jumlah tertentu
  3. Peternak kecil diberi bibit yang disubsidi dan pasarnya harus dilindungi
  4. Importir daging diwajibkan mengembangkan pembibitan sapi
  5. Jatah impor yang diberikan kepada importir yang tidak dapat mengembangkan bibit sapi dibatalkan
  6. Kementerian Pertanian harus berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan dalam menentukan kuota impor sapi dan daging sapi.
  7. Pengembangan lahan peternakan sapi alternatif misalnya di lahan tegakan jati, lahan perkebunan karet dan berbagai jenis lahan pengganti padang rumput yang dapat digunakan sebagai padang penggembalaan sapi.

Sensus sapi yang akan dilaksanakan pada 2011 ini diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah untuk dapat menyusun ulang program swasembada sapi. Perancangan blue print program swasembada sapi harus diikuti oleh seluruh stake holder yang berkepentingan atas sapi di Indonesia. Di atas semua itu, penyusunan program swasembada sapi juga harus bebas dari agenda-agenda politik dari pihak manapun.

Untuk jangka panjang, Pemerintah harus mendorong terciptanya industri-industri peternakan sapi yang efektif dan efisien. Membangun industri peternakan jangka panjang harus dimulai dengan pembibitan sapi yang baik, dilanjutkan dengan cara pemeliharaan sapi yang efisien, dan didukung infrastruktur transportasi ternak yang lengkap. Jika tidak sanggup, sebaiknya swasembada sapi tidak perlu dipaksakan.

Jakarta, 30 Maret 2011

Institute for Indonesian Agroindustry Development (INFIAD)

Informasi: Ir. Murman Budijanto MT (0817148189)

Menuju Industri Gula Nasional yang Kompetitif*



Industri gula Indonesia pernah berjaya di tahun 1930-an. Bahkan pada tahun 1931, Indonesia mampu mengekspor tiga juta ton gula. Sayangnya industri gula Indonesia saat ini berbeda jauh dengan keadaan di tahun 1930-an.

Kehilangan daya saing akibat rendahnya produktivitas dan efisiensi tidak hanya merugikan petani tebu dan pabrik gula, namun juga berimbas pada sektor industri pengguna gula. Produk industri pengguna tentunya akan menjadi tidak kompetitif karena menggunakan bahan baku gula yang harganya lebih mahal dibandingkan produk pesaingnya di luar negeri. Jika dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin investor di bidang industri ini akan beralih ke negara lain yang memiliki harga gula lebih baik dari Indonesia.

Rencana swasembada gula pada tahun 2014 dirasa masih belum dapat meningkatkan daya saing industri gula Indonesia. Harga produksi gula dalam negeri yang tinggi membuat disparitas harga dengan gula produksi luar negeri terpaut cukup lebar. Tingginya harga produksi gula di Indonesia diakibatkan karena pertanian tebu yang tidak dilaksanakan dengan memperhatikan kaidah-kaidah pertanian teknologi modern, penanganan pasca panen yang tidak baik, dan rendahnya efisiensi pabrik gula yang ada.

Dengan diberlakukannya perjanjian AFTA pada 2015 nanti, maka gula produksi luar negeri akan membanjiri pasar Indonesia. Perbedaan harga gula produksi dalam negeri dengan luar negeri akan membuat gula Indonesia tidak mendapat tempat di pasar meskipun produksi dalam negeri dapat mencukupi konsumsi nasional. Maka dari itu, masih diperlukan usaha-usaha untuk membangun industri gula di Indonesia memiliki daya saing.

Perbaikan Sistem Distribusi Gula Nasional

Dalam sistem distribusi gula Indonesia, Gula Kristal Rafinasi (GKR) hanya boleh dijual kepada industri. Dengan demikian, gula yang ada di pasar konsumsi Indonesia hanyalah Gula Kristal Putih (GKP) produksi lokal. Tujuan utama penerapan sistem distribusi seperti ini adalah untuk melindungi gula produksi dalam negeri yang tidak memiliki daya saing. Namun demikian, kebocoran GKR di pasar tetap saja terjadi. Potensi kebocoran timbul karena adanya selisih harga GKR dan GKP yang tinggi.

Harga GKP yang tinggi di pasar bukan hanya disebabkan rendahnya efisiensi industri gula di Indonesia, namun juga diakibatkan adanya kelompok pedagang yang menguasai perdagangan gula nasional. Kartel pedagang gula ini biasa disebut dengan Samurai (tempointeraktif.com, 2009).

Indikasi adanya kartel dalam perdagangan gula timbul karena terjadinya kenaikan harga gula di pasar yang tidak diimbangi dengan kenaikan harga gula di tingkat petani dan pabrik gula. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan upaya untuk memperpendek rantai distribusi. Dengan memperpendek rantai distribusi maka harga yang diterima konsumen dapat lebih murah.

Model pendistribusian mandiri seperti yang dilakukan oleh Sugar Group Company merupakan salah satu cara yang dapat digunakan. Dengan mendistribusikan langsung produk kepada pengecer, maka industri gula dapat meraih keuntungan yang lebih besar, dengan demikian petani bisa diberikan harga beli tebu lebih tinggi

Pemerintah juga dapat mengembalikan fungsi BULOG untuk menjaga kestabilan harga pasar (Public Service Obligation). BULOG dapat menyiapkan sejumlah persediaan gula (buffer stock) yang dapat dipakai sewaktu-waktu. Kebutuhan persediaan gula BULOG bisa dibeli dari petani dengan harga yang tidak lebih rendah dari harga minimum maupun melalui impor. Persediaan ini dapat digunakan untuk mengatasi kenaikan harga gula di pasar yang diakibatkan karena kurangnya persediaan baik secara kuantitas maupun kualitas.

Tantangan Pasar Bebas (AFTA)

Pemberlakuan perjanjian AFTA pada tahun 2015 nanti yang menurunkan bea masuk impor raw sugar dan GKR akan menjadi ancaman bagi industri gula Indonesia. Dengan tidak adanya lagi proteksi dari pemerintah berupa bea masuk, maka harga gula impor di pasar akan menjadi amat kompetitif. Jika tidak segera berbenah, maka hampir dapat dipastikan akan banyak industri gula Indonesia yang mati karena tidak bisa bersaing dengan gula produksi luar negeri. Maka dari itu, membangkitkan iklim kompetisi dalam perdagangan gula Indonesia menjadi penting.

Dengan adanya pasar bebas, maka alasan proteksi kepada petani dan industri gula lokal dengan cara larangan penjualan GKR ke pasar menjadi tidak relevan lagi. Pembedaan perlakuan GKP dan GKR membuat industri gula Indonesia tidak terbiasa dengan kompetisi. Jika terus berlanjut, hal ini justru akan mengancam keberlangsungan industri gula Indonesia. Maka dari itu, larangan penjualan GKR ke pasar harus dihilangkan agar industri GKP Indonesia terpacu untuk memiliki daya saing dengan cara melakukan perbaikan (revitalisasi) baik dalam hal produktivitas maupun efisiensi.

Indonesia juga dapat melakukan negosiasi ulang untuk menunda pemberlakuan perjanjian AFTA. Waktu tambahan yang didapat kemudian dapat digunakan untuk memperbaiki efisiensi industri gula Indonesia sehingga memiliki daya saing. Dengan demikian, maka penurunan bea masuk gula impor dapat sejalan dengan peningkatan daya saing industri gula Indonesia.

Bea Masuk Gula Impor

Dengan tidak diberlakukannya lagi perbedaan antara GKR dan GKP, pemerintah harus melakukan proteksi terhadap petani dan industri gula Indonesia sebelum diberlakukannya AFTA mulai tahun 2015 nanti. Proteksi ini berupa pemberlakuan bea masuk bagi GKR. Besarnya bea masuk harus disesuaikan sehingga harga jual GKR di pasar akan sama dengan harga jual GKP. Dengan demikian maka akan terjadi persaingan di antara dua jenis gula ini.

Dengan adanya persaingan harga, posisi kartel yang selama ini dapat dengan leluasa mengatur harga gula di pasar dapat diperkecil. Harga tidak lagi ditentukan oleh sekumpulan pedagang besar, namun ditentukan oleh mekanisme pasar.

Khusus untuk industri pengguna gula, perlu dipertimbangkan pemberlakuan bea masuk yang lebih rendah. Hal ini diperlukan untuk melindungi industri pengguna gula agar tetap kompetitif. Untuk melakukan hal ini, pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi kebocoran.

Efisiensi Perkebunan Tebu dan Pabrik Gula

Persaingan harga akan memacu industri gula Indonesia untuk meningkatkan daya saingnya. Akan tetapi, masih dibutuhkan modal untuk memperbaiki pertanian tebu dan industri gula Indonesia. Modal untuk meningkatkan perkebunan tebu dan pabrik gula di Indonesia sebagian bisa didapat dengan mengalokasikan pendapatan dari bea masuk gula impor.

Perbaikan utama yang harus dilakukan adalah di Jawa. Hal ini disebabkan karena luas lahan tebu terbesar dan yang memiliki efisiensi paling rendah ada di Pulau Jawa. Langkah yang harus dilakukan antara lain adalah:
  1. Penyediaan bibit unggul dengan harga terjangkau bagi petani. Hal ini dapat dilakukan dengan mensubsidi langsung kepada petani atau pedagang maupun dengan memberikan insentif bagi lembaga-lembaga penelitian yang melakukan penelitian di bidang pembibitan.
  2. Penyediaan penyuluh pertanian untuk memperbaiki proses budidaya tebu, memantau rendemen, dan membantu proses tebang, muat, angkut tebu (transportasi).
  3. Penyediaan kredit lunak untuk pengolahan lahan dan pengadaan bibit, pupuk, dan pestisida.
  4. Penyediaan kredit menarik bagi pabrik gula untuk melakukan peremajaan maupun untuk pembangunan pabrik baru (revitalisasi).
  5. Memberi penghargaan atau apresiasi kepada industri gula yang dapat meningkatkan efisiensinya. Dengan adanya penghargaan ini, maka diharapkan industri gula yang ada akan terpacu untuk meningkatkan efisiensinya sehingga memiliki daya saing yang tinggi.

Efisiensi juga dapat dilakukan dengan memperbaiki komunikasi antara petani tebu dan pabrik gula. Dengan adanya komunikasi, maka pengiriman tebu dari petani setiap harinya dapat disesuaikan dengan kapasitas yang dimiliki pabrik. Hasil dari komunikasi ini adalah sebuah manajemen tebang-muat-angkut tebu yang baik. Kesepakatan ini kemudian dapat dijadikan sebagai Prosedur Operasi Standar (SOP) yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Untuk di luar pulau Jawa, usaha yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan ekstensifikasi lahan. Perluasan lahan tebu di luar Jawa ini diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan raw sugar dalam negeri yang selama ini masih mengandalkan produk impor. Dengan adanya raw sugar produksi dalam negeri, maka impor raw sugar dapat dikurangi.

Kesimpulan dan Saran

Industri gula Indonesia harus memiliki daya saing yang tinggi untuk menghadapi AFTA 2015. Untuk memacu tumbuhnya daya saing, industri gula harus berada dalam kondisi siap bersaing. Untuk dapat meningkatkan daya saing, perkebunan tebu dan industri gula Indonesia harus meningkatkan efisiensinya. Maka dari itu, kebijakan pemerintah harus fokus kepada peningkatan daya saing industri gula Indonesia.

Untuk meningkatkan daya saing industri gula Indonesia maka rekomendasi yang dapat dilakukan adalah:

Pra panen (on site)
  • Mengalokasikan pendapatan dari bea masuk gula impor untuk meningkatkan efisiensi perkebunan tebu dan pabrik gula yang ada di Indonesia.
  • Perhatian Pemerintah untuk pengembangan bibit diperlukan agar bisa meningkatkan efisiensi dan produktivitas tanaman tebu

Pasca panen (off site)
  • Memperpendek rantai distribusi
  • Menghilangkan larangan penjualan GKR ke pasar
  • Meningkatkan bea masuk gula impor untuk konsumsi. Sedangkan untuk bahan baku industri diatur tersendiri dengan pengawasan ketat.


*Laporan Hasil Diskusi "Menuju Industri Gula Nasional yang Kompetitif" (Hotel Borobudur, 19 Agustus 2010) Kerjasama Infiad Indonesia dan Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Perikanan.